SINYALBEKASI.COM - Tidak kaget bila dalam sebuah rumah tangga perjalanannya terjadi percekcokan antar pasangan. Entah masalah tersebut kecil atau pun besar.
Perlu diingat oleh istri, bahwa bagaimana pun kondisinya sang istri harus mengecilkan suaranya dalam artian merendahkan nada bicara ketika berdebat dengan sang suami walaupun dia mengganggap gagasannya benar.
Suami yang sudah lelah mencari nafkah sudah selayaknya mendapat perlakuan yang baik dari istri. Sikap lembut istri akan membuat keringat suami setelah bekerja kering seketika. Kelembutan istri pun menjadi perlambang rasa syukur terhadap nafkah yang didapat suami seberapa pun kecilnya.
Menurut hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, berkata kasar dan jelek kepada suami adalah bentuk kefasikan. Tindakan itu semestinya dihindari oleh siapa pun, tak terkecuali istri kepada suami. Memarahi, mencela atau memaki, sebagaimana ditegaskan hadis dari Abdullah bin Mas'ud di riwayat yang lain, tidak termasuk karakter seorang mukmin.
Bila dijelaskan marah adalah hal yang normal dan ini bisa dialami oleh siapa saja, termasuk oleh istri atau suami dalam hubungan rumah tangga. Ada kemarahan yang masih bisa dipendam, tapi ada juga yang tidak bisa dipendam dan memuncak, hingga mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti terjadinya perceraian.
Rasa marah itu pun bisa dipicu oleh hal-hal yang kecil, hingga sesuatu yang besar. Rasa curiga, cemburu, hingga permasalahan rumah tangga seperti keuangan bisa menjadi alasan kemarahan. Jika biasanya suami yang marah, lalu bagaimana hukum istri sering marah pada suami?
Dilansir dari orami.co.id, penjelasan hukum istri sering marah pada suami di bawah ini.
Dalam Islam, hukum istri sering marah pada suami hingga membentak adalah tidak boleh dan masuk ke dalam jenis dosa besar. Sebab, suami adalah sosok pemimpin keluarga yang harus dihormati dan ditaati oleh istri salah satu kewajibannya.
Rasulullah SAW pun mengatakan bahwa sangat tinggi kedudukan suami untuk istrinya. “Seandainya saya bisa memerintahkan seorang untuk sujud pada orang lain, pasti saya perintahkan seorang istri utk sujud pada suaminya.” (HR Abu Daud, Al-Hakim, Tirmidzi).
Jika alasan istri memarahi suami karena suami berbuat kesalahan, istri memang sudah seharusnya mengingatkan tapi harus dilakukan dengan cara yang baik, tutur kata yang lemah lembut, tidak membentak atau menggunakan suara yang keras dan juga jangan menyinggung perasaan suami.
Apabila suami dimarahi, dibentak atau didzalimi, ini sudah menunjukkan bahwa perempuan tersebut menunjukkan ciri-ciri istri yang durhaka terhadap suami ini. Melihat hal tersebut, bahkan para bidadari surga pun akan sangat murka. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia, tetapi istrinya dari kelompok bidadari bakal berkata, ‘Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di sisimu; nyaris saja ia bakal meninggalkanmu menuju pada kami’.” (HR At-Tirmidzi).
Alasan mengapa hukum istri sering marah pada suami adalah tidak boleh, sebab kelak akan mendapatkan saingan yang berat yakni bidadari Allah SWT, sehingga sudah seharusnya sangat dijauhi dan tidak boleh dilakukan.
Jika istri merasakan kemarahan yang tidak bisa ditahan, tetap tidak diperbolehkan untuk memperlihatkan amarah tersebut dengan emosi yang berlebihan. Alangkah lebih baik jika beristighfar dan memohon ampun pada Allah SWT, sebab istighfar akan lebih meringankan hati yang sedang panas.
Apabila dirasa sudah agak tenang, awali pembicaraan dengan suami untuk mencari jalan keluar dan lakukan secara baik-baik. Sebab, jika diawali dengan amarah, maka suami pun akan tersulut amarahnya dan tidak akan mendapatkan solusi jika terjadi permasalahan.
Meski hukum istri sering marah pada suami adalah tidak boleh, suami juga jangan memancing amarah atau melakukan hal-hal yang tidak disukai istri. Lalu apakah yang harus dilakukan oleh seorang suami saat menghadapi kemarahan istrinya?
Pertama, suami harus sabar. Hal ini telah dicontohkan oleh Khalifah Ummar bin Khattab. Suatu ketika, seorang lelaki pernah menuju rumah Umar RA untuk mengadukan perilaku istrinya yang sering marah. Sampai di sana, istri Umar RA juga sedang marah dan beliau pun hanya diam.
Lalu Umar RA pun berkata kepadanya, “Wahai saudaraku, aku tetap sabar menghadapi perbuatannya, karena itu memang kewajibanku. Istrikulah yang memasak makanan, membuatkan roti, mencucikan pakaian, dan menyusui anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya. Di samping itu, hatiku merasa tenang (untuk tidak melakukan perbuatan haram—sebab jasa istriku). Karena itulah aku tetap sabar atas perbuatann istriku.”
Umar RA mencontohkan kesabaran dalam menghadapi istri yang sedang marah, dia tidak membalasnya dengan ucapan dan tidak melakukan kekerasan. Umar RA justru mengamalkan kesabaran dan menahan diri untuk tidak terjebak emosi dengan diam, mendengarkan istri sambil berusaha mengingat-ingat kebaikannya.
Kedua, memaafkan kesalahan istri. Meneladani kisah Umar RA yang memiliki hati luas sehingga tidak tersinggung dan tak sakit hati terhadap istri. Bahkan Umar RA tidak sampai terbawa emosi berbalik memarahi istri. Sehingga, suami bisa legowo saat menanggapi kemarahan istri.
Allah SWT berfirman: “Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali ‘Imran: 159).
Ketiga, hendaknya suami bersikap adil. Bentuknya adalah dengan memberikan istri hak untuk didengar. Meskipun kadang dibumbui dengan rasa marah, namun suami harus mendengarkan dengan tenang agar semua keluh kesah istri dapat tersampaikan.
Sekali lagi, marah bukanlah solusi. Oleh karena itu, hukum istri sering marah pada suami pun tidak boleh dilakukan. Oleh sebab itu, saling pengertian adalah kuncinya. Sudah tidak bingung lagi kan Moms hukum istri sering marah pada suami.
(Dwi)